in

Tips Mengatasi Ketakutan Saat Public Speaking

pamflet acara dengan pembicara
pamflet acara

Minggu yang terik pada tanggal 31 Mei 2020 itu seperti hari-hari Minggu biasanya. Saya bermain dengan anak-anak. Ya, meluangkan waktu untuk bercengkerama, bercanda, atau bahkan bermain. Lalu muncul WA dari Pak Sugeng, dosen, kajur di Polinema, atasan sekaligus guru saya di TransKomunika. Beliau punya ide untuk mengadakan acara bincang santai terkait terjemahan. Sudah punya beberapa topik. Sudah menghubungi salah satu pembicara pula, Mas Ade.

Dalam WA itu dijelaskan detail berikut:

Cakupan pembicaraan:

1. Beberapa pengertian terjemahan/penerjemahan (Sugeng)

2. Pemahaman pengertian terjemahan oleh lulusan baru (Anton)

3. Cakupan penerjemahan di industri bahasa (Ade)

Di satu sisi, ada kebanggaan. Ternyata saya dipercaya menjadi salah satu pembicara di acara perdana. Acara yang cukup besar, saya kira. Di sisi lain, sisi diri saya yang kurang percaya diri dan selalu meragukan diri sendiri mulai berbisik.

“Yakin kamu bisa?”

“Iya ya, bisa nggak ya?” aku terdiam. Si Anton yang kurang percaya diri itu sudah mulai sedikit mempengaruhi.

“Kamu itu nggak bisa. Keduanya itu pembicara jempolan. Pengalamannya bejibun. Lha, kamu?”

“Tapi kan kedua beliau mungkin tidak pernah menjalani pengalaman sepertiku. Setiap pengalaman itu unik. Dan aku ya perlu berbagi pengalaman unik itu. Bukan begitu?”

“Ya, unik sih unik. Tapi semua orang juga mungkin perlu tahu hal yang baru. Yang kamu tahu itu sudah banyak diketahui banyak orang. Basi.”

Obrolan batin itu mulai merasuki kesadaran. Rasa minder disandingkan dengan dua penerjemah dan pembicara hebat yang berpengalaman mulai mengambil alih.

Saya ambil hape yang tergeletak di meja kayu di kamar depan. Secara perlahan, dan sangat sopan, saya ketik.

Terima kasih Pak, mungkin kita coba dulu lakukan gladi2 sebelum benar2 live

Nggak yakin juga saya ke diri sendiri

Beberapa waktu kemudian, saya mengetik lagi:

Kalau saya di-delete saja gimana Pak? Khawatir malah malu-maluin saya

Kalo Pak Sugeng dan Mas Ade kan sudah jago

Saya menulisnya dengan kesadaran penuh. Saya insecure. Nervous. Tidak percaya diri. Semuanya berbaur dengan kacau di pikiran. Selain itu, saya sadar penuh: saya tidak dianugerahi suara yang merdu atau berwibawa. Seperti yang dibilang anak-anak dan teman-teman, suara saya cempreng. Fakta yang tidak bisa saya tepis, dan saya amini kebenarannya.

Semenit berlalu, muncul balasan:

Nggak pa-pa. Itu nunggu pertanyaan MC. Pertanyaannya kita diskusi terlebih dahulu.

Terus kita bisa latihan sebelumnya.

Saya ambil napas perlahan dan saya tegaskan dalam hati bahwa, oke, saya terima tawaran dan kesempatan ini. Namun, saya niati dalam hati bahwa ini lebih kepada rasa tawadlu’ kepada guru yang sudah banyak mengajari.

Seminggu berlalu, kami dijadwalkan tes atau semacam gladi kotor dan gladi resik sebelum acara. Pak Sugeng, Mbak Maya, Mbak Nadia, dan saya mencoba aplikasi Zoom, koneksi internet, mencoba share screen, dll sebagainya. Rasa gugup berkurang sedikit. Sedikit sekali. Sebagai orang yang mendeklarasikan sendiri sebagai introvert, saya paham bahwa rasa gugup dan ketidakpercayaan akan selalu setia, terlebih bila harus berbicara di depan khalayak. Tapi rasa gugup ini berbeda. Fluktuasinya sangat kentara. Saat keesokan harinya tes lagi, kegugupan itu tak jua pergi.

“Kita juga share ke FB Live ya” usul Pak Sugeng hari itu setelah mendengar laporan bahwa banyak yang antusias ikut tapi terkendala kuota jumlah peserta.

“Apa nggak dibuat eksklusif saja Pak?” usul saya. Di dalam hati, saya ingin acaranya tidak disiarkan melalui FB Live agar orang yang hadir sesedikit mungkin. Semakin sedikit yang hadir, semakin sedikit pula rasa gugup yang menjalari pikiran dan kesadaran.

“Ya, kita tampung ide itu” jawab beliau. Dari jawaban itu, saya tahu FB live akan tetap diterapkan. Dan saya bertambah galau.

H-1, perut saya mual. Badan meriang. Kepala pusing. Tenggorokan kering. Untung saya tidak batuk. Bila batuk, saya mungkin dianggap kena virus terpopuler yang sedang banyak menjangkiti orang-orang itu. Ya, virus yang tidak boleh kita sebut namanya itu.

Malam itu juga, istri menyarankan saya minum vitamin dan paracetamol. Saya akhirnya bisa tertidur pulas malam itu. Betul kata para ustadz dan kiai, tidur adalah obat yang diberikan Tuhan untuk meredakan rasa sakit, rasa sedih, perasaan tidak nyaman, dan lain sebagainya.

Tibalah hari H, Sabtu 13 Juni 2020. Pukul 12.30, perut saya mulas. Saya berjalan ke depan rumah, tapi pikiran resah. Tidur-tiduran di sofa, hati gundah. Kembali melihat presentasi, rasanya seperti depresi. Saya pun merebahkan badan, memohon doa kepada sahabat-sahabat di kejauhan melalui WA.  

Wih, keren. Kamu disandingkan dengan Ade Indarta lho

Kalimat di WA yang dikirim Faiz itu bukannya menghibur, malah tambah membuat gusar. Hati saya malah tidak tenteram.

Saat jam menunjuk angka 14.30, panitia dan pembiacara harus masuk terlebih dahulu ke ruang Zoom untuk mengecek koneksi dan powerpoint untuk presentasi. Lalu, masuklah Ibu Prof Rochayah Machali, dosen UNSW dan pakar terjemahan yang sudah malang melintang di dunia akademis dan praktis. Masuk kemudian Bapak Indra Listyo, praktisi dan pakar penerjemahan yang juga Ketua HPI Pusat. Lalu kemudian masuk peserta yang sebagian besar adalah akademisi dan praktisi penerjemahan yang berpengalaman.

Rasanya ingin mundur dari gelanggang saat itu juga. Darah membeku. Lidah kelu. Keringat menetes tak tentu. Namun, sudah terlanjur. Saya tak kuasa dan mungkin tak bisa memaafkan diri sendiri bila harus mundur dan membuat panitia kecewa. Mengecewakan peserta yang sudah antusias hadir. Mengecewakan dan menghancurkan kepercayaan Pak Sugeng.

“Ya Allah, berilah rahmat-Mu agar hamba-Mu ini tidak terlalu memalukan”

Saya pun terus berdoa dan bersholawat di dalam hati. Berkali-kali. Saat tiba giliran saya berbicara, rasanya kosong untuk sepersekian detik. Lalu saya ingat harus kembali berpijak ke bumi. Tatapan Mbak Maya, Mbak Tanti, dan Mbak Nadya dari kejauhan memberikan ketenangan. Suara Mas Ade dan Pak Sugeng memberikan keyakinan bahwa saya bisa.

Pada satu titik saat berbicara, saya melihat chatbox Zoom. Di situ ada salah satu pesan dari peserta yang tertulis “Materi yang menarik dan bermanfaat Mas Anton.”

Saya tersenyum di dalam hati. Ada rasa hangat yang menjalari tubuh. Ada rasa kepercayaan diri yang tumbuh.

Itulah kira-kira tips “Tips Mengatasi Ketakutan Saat Public Speaking”, menghadapi ketakutan itu dan mengambil tantangan.

Hari itu, Sabtu 13 Juni 2020, saya berhasil menghadapi dan mengatasi ketakutan saya sendiri. Benar kata orang, “yang perlu kita takuti adalah ketakutan itu sendiri”.

Dan saya juga mengonfirmasi dan membuktikan satu kebenaran yang tidak bisa saya elak lagi. Suara saya ternyata memang cempreng.

Malang, 14 Juni 2020

Bagikan ke:

Tips mengatasi perfeksionisme

Sukses Menahan Marah